1
Pangeran yang Bahagia / El príncipe feliz — на інданезійскай і іспанскай мовах

Інданезійска-іспанская кніга-білінгва

Oscar Wilde

Pangeran yang Bahagia

Oscar Wilde

El príncipe feliz

Berdiri tinggi di sebuah kota, diatas sebuah kolom yang jangkung, terdapat patung Pangeran Yang Bahagia. Seluruh tubuhnya dilapis oleh lempengan-lempengan tipis emas dengan kualitas terbaik, dua batu safir biru bercahaya dikedua matanya, dan sebuah batu rubi merah delima yang besar menghiasi pangkal pedangnya.

En la parte más alta de la ciudad, sobre una columnita, se alzaba la estatua del Príncipe Feliz. Estaba toda revestida de madreselva de oro fino. Tenía, a guisa de ojos, dos centelleantes zafiros y un gran rubí rojo ardía en el puño de su espada.

Patung pangeran itu pun sangat dikagumi. “Ia seindah penunjuk arah angin,” Kata seorang Anggota Dewan Kota yang berharap memperoleh pengakuan akan cita rasa artistiknya “Hanya tidak terlalu bermanfaat,” Tambahnya cepat-cepat karena takut ada orang yang menganggap ia tidak realistis. Padahal menurutnya ia adalah orang yang sangat realistis.

Por todo lo cual era muy admirada.
—Es tan hermoso como una veleta —observó uno de los miembros del Concejo que deseaba granjearse una reputación de conocedor en el arte—. Ahora, que no es tan útil —añadió, temiendo que le tomaran por un hombre poco práctico. Y realmente no lo era.

“Mengapa kamu tidak bisa seperti Pangeran Yang Bahagia?” Tanya seorang ibu pada anak laki-lakinya yang masih kecil pada saat sang anak menangis meminta bulan. “Pangeran Yang Bahagia tidak pernah menangis untuk apapun.”

—¿Por qué no eres como el Príncipe Feliz? —preguntaba una madre cariñosa a su hijito, que pedía la luna—. El Príncipe Feliz no hubiera pensado nunca en pedir nada a voz en grito.

“Yah, paling tidak didunia ini ada orang yang selalu bahagia” Ucap seorang laki-laki yang kecewa saat ia memandang patung yang indah tersebut.

—Me hace dichoso ver que hay en el mundo alguien que es completamente feliz —murmuraba un hombre fracasado, contemplando la estatua maravillosa.

“Lihat, rupanya seperti malaikat,” Kata anak-anak penderma yang muncul dari katedral dengan jubah merah tua mereka yang terang dan oto putih yang bersih.

—Verdaderamente parece un ángel —decían los niños hospicianos al salir de la catedral, vestidos con sus soberbias capas escarlatas y sus bonitas chaquetas blancas.

“Bagaimana kalian tau bahwa muka patung tersebut menyerupai malaikat? Kalian kan tidak pernah melihat malaikat.” Kata seorang ahli matematika saat ia mendengar ucapan anak-anak tersebut.

—¿En qué lo conocéis —replicaba el profesor de matemáticas— si no habéis visto uno nunca?

“Ah! Kita pernah melihatnya, malaikat muncul dalam mimpi kita,” jawab anak-anak. Sang ahli matematikapun mengernyitkan keningnya dan terlihat jengkel karena ia tidak setuju anak-anak bermimpi.

—¡Oh! Los hemos visto en sueños —respondieron los niños. Y el profesor de matemáticas fruncía las cejas, adoptando un severo aspecto, porque no podía aprobar que unos niños se permitiesen soñar.

Pada suatu malam terbang seekor burung layang layang kecil atas kota tersebut. Burung layang-layang yang lain telah memulai perjalanan mereka ke Mesir enam minggu sebelumnya, namun sang burung layang-layang kecil itu memutuskan untuk tinggal karena ia sedang jatuh cinta dengan Alang alang yang paling indah yang pernah ia temui. Ia berjumpa dengan Alang-alang tersebut di awal di musim semi, saat ia tengah terbang meniti tepian sungai mengejar seekor ngengat kuning yang besar. Sang burung kecil terpesona oleh gemulai pinggangnya yang langsing, ia memutuskan untuk berhenti dan berbicara dengannya.

Una noche voló una golondrinita sin descanso hacia la ciudad. Seis semanas antes habían partido sus amigas para Egipto; pero ella se quedó atrás. Estaba enamorada del más hermoso de los juncos. Lo encontró al comienzo de la primavera, cuando volaba sobre el río persiguiendo a una gran mariposa amarilla, y su talle esbelto la atrajo de tal modo, que se detuvo para hablarle.

“Bolehkah aku mencintaimu?” Tanya burung layang-layang kecil, yang segera mengutarakan isi hatinya tanpa berbasa-basi lagi; dan alang alang merunduk rendah. Sang burung kecil pun terbang mengelilinginya berkali-kali dan menyentuhkan sayapnya pada permukaan air sungai sehingga timbulah percikan-percikan air keperakan.

—¿Quieres que te ame? —dijo la Golondrina, que no se andaba nunca con rodeos. Y el Junco le hizo un profundo saludo. Entonces la Golondrina revoloteó a su alrededor rozando el agua con sus alas y trazando estelas de plata.

Tarian ini adalah pinangannya dan hal ini berlangsung selama musim panas.

Era su manera de hacer la corte. Y así transcurrió todo el verano.

“Betapa menggelikannya pasangan tersebut,” Komentar burung layang-layang lainnya. “Si alang-alang tidak punya uang dan memiliki terlalu banyak saudara.”
Saat itu sungai memang penuh dengan alang-alang. Ketika musim gugur tiba, burung layang-layang lainnyapun terbang bermigrasi ke Mesir, menuju piramid-piramid.

—Es un enamoramiento ridículo —gorjeaban las otras golondrinas—. Ese Junco es un pobretón y tiene realmente demasiada familia. Y en efecto, el río estaba todo cubierto de juncos. Cuando llegó el otoño, todas las golondrinas emprendieron el vuelo.

Setelah burung-burung lain meninggalkannya, ia mulai merasa kesepian, dan perlahan-lahan bosan terhadap pasangannya tercinta.
“Dia tidak bisa bercakap-cakap,” sang burung berkata, “Dan aku curiga bahwa ia adalah wanita yang genit, karena ia selalu menggoda sang angin.” Hal ini memang dapat dipastikan, karena setiap saat sang angin berhembus, Alang-alang dengan lemah gemulai akan membuat gerakan merunduk yang indah. “Aku mengakui bahwa dia adalah mahluk domestik,” lanjutnya, “tetapi aku senang bepergian, dan isteriku, sebagai konsekwensinya, harus senang bepergian juga.”

Una vez que se fueron sus amigas, sintiose muy sola y empezó a cansarse de su amante.
—No sabe hablar —decía ella—. Y además temo que sea inconstante porque coquetea sin cesar con la brisa.
Y realmente, cuantas veces soplaba la brisa, el Junco multiplicaba sus más graciosas reverencias.
—Veo que es muy casero —murmuraba la Golondrina—. A mí me gustan los viajes. Por lo tanto, al que me ame, le debe gustar viajar conmigo.

“Maukah kau pergi denganku?” Akhirnya si burung kecil bertanya pada istrinya; namun sang alang alang menggelengkan kepalanya, ia terlalu terikat dengan rumahnya.

—¿Quieres seguirme? —preguntó por último la Golondrina al Junco. Pero el Junco movió la cabeza. Estaba demasiado atado a su hogar.

“Kau telah mempermainkan aku,” Burung kecil menangis kecewa. “Aku akan pergi menuju piramid-piramid. Selamat Tinggal!” dan ia pun terbang menjauh.

—¡Te has burlado de mí! —le gritó la Golondrina—. Me marcho a las Pirámides. ¡Adiós!
Y la Golondrina se fue.

Sepanjang hari ia terbang, dan pada malam hari ia tiba di kota.

Voló durante todo el día y al caer la noche llegó a la ciudad.

“Di manakah aku harus beristirahat?” ia berkata; “Aku harap kota ini telah membuat persiapan.”

—¿Dónde buscaré un abrigo? —se dijo—. Supongo que la ciudad habrá hecho preparativos para recibirme.

Kemudian ia melihat sebuah patung diatas kolom yang tinggi.
“Aku akan tidur disini,” sahutnya gembira; “ini adalah posisi yang bagus, dekat ruang terbuka dengan banyak udara segar.” Maka ia mendarat diantara kaki patung Pangeran yang Bahagia.

Entonces divisó la estatua sobre la columnita.
—Voy a cobijarme allí —gritó— El sitio es bonito. Hay mucho aire fresco.
Y se dejó caer precisamente entre los pies del Príncipe Feliz.

“Wow, aku mempunyai ruang tidur emas,” Bisiknya perlahan saat ia melihat kesekelilingnya, dan ia pun bersiap-siap untuk pergi tidur; namun persis ketika ia hendak membaringkan kepalanya diatas sayapnya yang hangat — setetes air yang besar jatuh diatasnya. “Aneh sekali!” sahutnya; “Tak ada satu pun awan terlihat, langit cerah dan bintang-bintang bersinar dengan terangnya, tapi kok hujan ya? Iklim di Eropa utara memang betul-betul mengganggu. Sang Alang Alang dahulu senang akan hujan, tapi itu hanya kesenanganya sendiri yang egois.”

—Tengo una habitación dorada —se dijo quedamente, después de mirar en torno suyo. Y se dispuso a dormir. Pero al ir a colocar su cabeza bajo el ala, he aquí que le cayó encima una pesada gota de agua.
—¡Qué curioso! —exclamó—. No hay una sola nube en el cielo, las estrellas están claras y brillantes, ¡y sin embargo llueve! El clima del norte de Europa es verdaderamente extraño. Al Junco le gustaba la lluvia; pero en él era puro egoísmo.

Kemudian tetesan berikutnya jatuh.

Entonces cayó una nueva gota.

“Apa gunanya berteduh dibawah patung jika tidak terlindung dari hujan?” katanya; “Ah aku akan mencari cerobong rumah yang baik,” dan sang burung pun bertekad untuk pergi.

—¿Para qué sirve una estatua si no resguarda de la lluvia? —dijo la Golondrina—. Voy a buscar un buen copete de chimenea.
Y se dispuso a volar más lejos.

Namun belum sempat ia membuka sayapnya, tetesan ketiga jatuh, ia pun menengadahkan kepalanya keatas, dan melihat — Ah! apa yang telah ia lihat? Mata dari Pangeran yang Bahagia penuh dengan air mata, dan airmatanya bergulir diatas pipi emasnya. Wajahnya begitu rupawan dibawah sinar rembulan sehingga sang burung layang-layang kecil merasa iba.

Pero antes de que abriese las alas, cayó una tercera gota. La Golondrina miró hacia arriba y vio… ¡Ah, lo que vio! Los ojos del Príncipe Feliz estaban arrasados de lágrimas, que corrían sobre sus mejillas de oro. Su faz era tan bella a la luz de la luna, que la Golondrinita sintiose llena de piedad.

“Siapakah kamu?” Tanya si burung kecil.

—¿Quién sois? —dijo.

“Aku adalah Pangeran yang Bahagia.”

—Soy el Príncipe Feliz.

“Lalu mengapa kamu menangis?” tanya burung layang-layang; “Kamu hampir membasahi seluruh tubuhku.”

—Entonces, ¿por qué lloriqueáis de ese modo? —preguntó la Golondrina—. Me habéis empapado casi.

Pangeran Bahagia yang menangis “Saat aku hidup dan memiliki jantung yang berdegup” jawab patung, “Aku tidak mengetahui apa itu air mata, karena aku tinggal dalam Istana Sans-Souci, dimana duka tidak diijinkan untuk masuk. Pada siang hari aku bermain dengan teman-temanku di taman, dan pada malam hari aku memimpin tarian di Aula Utama. Di sekeliling taman dibangun dinding yang tinggi, tetapi aku tidak pernah peduli dan bertanya apa yang ada diluar dinding tersebut, semua tentangku menjadi sangat indah. Para punggawa istana memanggilku Pangeran yang bahagia, dan aku betul-betul bahagia, jika kesenangan adalah kebahagiaan, maka aku hidup dan meninggal dalam kebahagiaan.”
Setelah aku mati mereka menaruh aku diatas kolom ini begitu tingginya sehingga aku dapat melihat semua kejelekan dan semua kesengsaraan dari kota ku, dan walaupun hatiku kini terbuat dari timah namun aku tidak bisa berhenti menangis.”

—Cuando estaba yo vivo y tenía un corazón de hombre —repitió la estatua—, no sabía lo que eran las lágrimas porque vivía en el Palacio de la Despreocupación, en el que no se permite la entrada al dolor. Durante el día jugaba con mis compañeros en el jardín y por la noche bailaba en el gran salón. Alrededor del jardín se alzaba una muralla altísima, pero nunca me preocupó lo que había detrás de ella, pues todo cuanto me rodeaba era hermosísimo. Mis cortesanos me llamaban el Príncipe Feliz y, realmente, era yo feliz, si es que el placer es la felicidad. Así viví y así morí, y ahora que estoy muerto me han elevado tanto, que puedo ver todas las fealdades y todas las miserias de mi ciudad, y aunque mi corazón sea de plomo, no me queda más recurso que llorar.

“Apa? Aku kira ia seluruhnya terbuat dari emas!” kata Burung layang-layang kepada dirinya sendiri. Bagaimanapun si burung kecil masih berlaku sopan dan tidak mengungkapkan pendapat pribadinya dengan nyaring.

«¡Cómo! ¿No es de oro de buena ley?», pensó la Golondrina para sus adentros, pues estaba demasiado bien educada para hacer ninguna observación en voz alta sobre las personas.

“Jauh disana,” lanjut sang patung dengan lantunan pilu, “jauh disana dijalanan yang kecil terdapat rumah orang miskin. Salah satu dari jendelanya terbuka, dan melalui jendela itu aku dapat melihat seorang perempuan duduk diatas meja. Wajahnya kurus dan letih, tangannya kasar, merah penuh dengan tusukan jarum, ia adalah seorang penjahit. Kini ia sedang menyulam bunga-bunga mawar diatas gaun satin bagi gadis cantik pendamping ratu untuk Pesta Pertunangan yang akan datang. Diatas tempat tidur di pojok ruangan, anak lelakinya terbaring sakit. Badannya panas, dan ia meminta jeruk untuk dimakan. Ibunya tidak memiliki apapun, hanya air dari sungai untuk minum, dan kini si anak menangis. Oh burung layang layang kecil, maukah engkau membawakan batu rubi pada pangkal pedangku? Kakiku telah dikeraskan menjadi satu dengan landasan kolom ini dan aku tak bisa bergerak.”

—Allí abajo —continuó la estatua con su voz baja y musical—, allí abajo, en una callejuela, hay una pobre vivienda. Una de sus ventanas está abierta y por ella puedo ver a una mujer sentada ante una mesa. Su rostro está enflaquecido y ajado. Tiene las manos hinchadas y enrojecidas, llenas de pinchazos de la aguja, porque es costurera. Borda pasionarias sobre un vestido de raso que debe lucir, en el próximo baile de corte, la más bella de las damas de honor de la Reina. Sobre un lecho, en el rincón del cuarto, yace su hijito enfermo. Tiene fiebre y pide naranjas. Su madre no puede darle más que agua del río. Por eso llora. Golondrina, Golondrinita, ¿no quieres llevarla el rubí del puño de mi espada? Mis pies están sujetos al pedestal, y no me puedo mover.

“Tapi teman-temanku telah menanti di Mesir,” kata si burung kecil, “mereka tengah terbang naik-turun melintasi Sungai Nil, dan bercengkrama dengan bunga teratai besar. Segera mereka akan pergi tidur di pusara Raja Termasyur. Sang Raja terbaring sendiri didalam peti mayatnya yang berwarna-warni. Ia dibalut oleh linen yang menguning, dan dibalsem dengan rempah-rempah. Lehernya akan dihiasi dengan kalung dari batu-batu permata berwarna hijau pucat, dan tangan menangkup layaknya daun layu.”

—Me esperan en Egipto —respondió la Golondrina—. Mis amigas revolotean de aquí para allá sobre el Nilo y charlan con los grandes lotos. Pronto irán a dormir al sepulcro del Gran Rey. El mismo Rey está allí en su caja de madera, envuelto en una tela amarilla y embalsamado con sustancias aromáticas. Tiene una cadena de jade verde pálido alrededor del cuello y sus manos son como unas hojas secas.

“Burung layang-layang, oh burung layang-layang kecil,” panggil Pangeran, “bersediakah kamu tinggal denganku untuk semalam dan menjadi pembawa pesanku? Anak laki-laki tersebut menjadi haus, dan ibunya menjadi sangat sedih.”

—Golondrina, Golondrina, Golondrinita —dijo el Príncipe—, ¿no te quedarás conmigo una noche y serás mi mensajera? ¡Tiene tanta sed el niño y tanta tristeza la madre!

“Aku tidak terlalu suka anak-anak lelaki,” jawab burung layang-layang. “Musim panas yang lalu, saat aku berdiam di sungai, ada dua anak-anak lelaki yang tidak sopan, putra pemilik penggilingan tepung , mereka selalu melempariku batu-batu. Lemparan mereka tidak ada yang kena, tentu saja; kami, burung layang-layang dalah penerbang yang hebat, apalagi untuk hal kecil seperti itu. Lagipula, aku datang dari suatu keluarga yang terkenal akan ketangkasannya; tetapi tetap saja melempari burung kecil dengan batu itu menandakan ketidak sopanan.”

—No creo que me agraden los niños —contestó la Golondrina—. El invierno último, cuando vivía yo a orillas del río, dos muchachos mal educados, los hijos del molinero, no paraban un momento en tirarme piedras. Claro es que no me alcanzaban. Nosotras, las golondrinas, volamos demasiado bien para eso y además yo pertenezco a una familia célebre por su agilidad; mas, a pesar de todo, era una falta de respeto.

Namun sang Pangeran bahagia terlihat begitu sedih sehingga burung layang-layang kecil menyesal.
“Diatas sini sangat dingin,” kata sang burung kecil; “tetapi aku akan menemanimu malam ini, dan menjadi pembawa pesanmu.”

Pero la mirada del Príncipe Feliz era tan triste que la Golondrinita se quedó apenada.
—Mucho frío hace aquí —le dijo—; pero me quedaré una noche con vos y seré vuestra mensajera.

“Terimakasih, Burung layang-layang kecilku,” sahut sang Pangeran.

—Gracias, Golondrinita —respondió el Príncipe.

Burung layang-layang pun lalu mencabut batu rubi merah delima dari pangkal pedang pangeran, dan terbang dengan batu tersebut dalam jepitan paruhnya melintasi atap-atap kota.

Entonces la Golondrinita arrancó el gran rubí de la espada del Príncipe y llevándolo en el pico, voló sobre los tejados de la ciudad.

Ia melewati menara katedral di mana terdapat pahatan patung malaikat dari pualam putih.
Ia melewati istana dan mendengar musik dansa sedang dimainkan. Seorang perempuan cantik muncul dari atas balkon bersama pasanganya.
“Betapa indahnya bintang malam ini,” kata sang lelaki pada pasangannya,“dan betapa indahnya kekuatan cinta!”
“Aku berharap gaunku akan siap pada waktunya untuk Pesta Negara,” jawabnya; “Aku sudah memerintahkan bunga-bunga mawar untuk disulam diatasnya; namun penjahit itu menjadi sangat malas.”

Pasó sobre la torre de la catedral, donde había unos ángeles esculpidos en mármol blanco. Pasó sobre el palacio real y oyó la música de baile. Una bella muchacha apareció en el balcón con su novio.
—¡Qué hermosas son las estrellas —la dijo— y qué poderosa es la fuerza del amor!
—Querría que mi vestido estuviese acabado para el baile oficial —respondió ella—. He mandado bordar en él unas pasionarias, ¡pero son tan perezosas las costureras!

Ia melintas diatas sungai, dan melihat lentera-lentera yang menggantung pada tiang-tiang kapal.
Ia melintas diatas kawasan miskin dan melihat yahudi-yahudi tua saling menawar, dan menimbang uang mereka dalam timbangan tembaga.
Akhirnya ia sampai di rumah si miskin dan melihat kedalam. Anak laki-laki yang sedang sakit panas tengah berbaring gelisah diatas alas tidurnya, ibunya tertidur karena kelelahan. Si burung pun meloncat kedalam dan meletakkan batu rubi merah delima besar dengan diam-diam diatas meja disamping sarung jahit jari pelindung si ibu.
Kemudian ia terbang mengelilingi tempat tidur dengan perlahan, mengipasi dahi sang anak laki-laki dengan kibasan sayap-sayap nya. “Aku merasa dingin,” kata sang anak lelaki, “Pasti ini tanda-tanda kesembuhan”; dan iapun mulai larut dalam tidurnya yang nyenyak.

Pasó sobre el río y vio los fanales colgados en los mástiles de los barcos. Pasó sobre el ghetto y vio a los judíos viejos negociando entre ellos y pesando monedas en balanzas de cobre. Al fin llegó a la pobre vivienda y echó un vistazo dentro. El niño se agitaba febrilmente en su camita y su madre habíase quedado dormida de cansancio. La Golondrina saltó a la habitación y puso el gran rubí en la mesa, sobre el dedal de la costurera. Luego revoloteó suavemente alrededor del lecho, abanicando con sus alas la cara del niño.
—¡Qué fresco más dulce siento! —murmuró el niño—. Debo estar mejor.
Y cayó en un delicioso sueño.

Kemudian Burung layang-layang kembali terbang ke Pangeran yang bahagia, dan memberitahukan apa yang telah ia lakukan. “Aneh,” kata si burung kecil, “Aku merasa hangat walaupun udara sangat dingin sekarang.”

Entonces la Golondrina se dirigió a todo vuelo hacia el Príncipe Feliz y le contó lo que había hecho.
—Es curioso —observa ella—, pero ahora casi siento calor, y sin embargo, hace mucho frío.

“Itu karena kamu sudah melakukan tindakan yang baik,“kata Pangeran. Dan Burung layang-layang mulai berpikir, dan kemudian ia tertidur. Berpikir selalu membuatnya mengantuk.

Y la Golondrinita empezó a reflexionar y entonces se durmió. Cuantas veces reflexionaba se dormía.

Ketika hari menjelang siang, ia pun bergegas terbang ke sungai dan mandi. “Wah, fenomena yang luar biasa,” kata seorang Professor Ornitologi saat ia menyebrangi jembatan. “Seekor burung layang-layang di musim dingin!” Dan ia langsung menuliskan surat tentang hal itu ke surat kabar lokal di kota. Semua orang lalu membicarakannya, surat itu penuh dengan kata-kata yang tidak mereka pahami, namun orang-orang merasa penting dengan mengulangi kata-kata asing yang tidak mereka pahami.

Al despuntar el alba voló hacia el río y tomó un baño.
—¡Notable fenómeno! —exclamó el profesor de ornitología que pasaba por el puente—.
¡Una golondrina en invierno!
Y escribió sobre aquel tema una larga carta a un periódico local. Todo el mundo la citó. ¡Estaba plagada de palabras que no se podían comprender!…

“Malam ini aku akan terbang ke Mesir,” kata Burung Layang-layang, ia merasa bersemangat tentang pergi ke Mesir. Ia mengunjungi banyak bangunan-bangunan penting di kota itu, dan duduk dalam jangka waktu yang lama di atas menara gereja. Kemanapun ia pergi burung-burung pipit membicarakannya dan mengatakan pada satu sama lain, “Lihat seekor burung asing yang terkenal!” maka ia pun merasa senang dan bangga pada dirinya sendiri.

—Esta noche parto para Egipto —se decía la Golondrina. Y sólo de pensarlo se ponía muy alegre. Visitó todos los monumentos públicos y descansó un gran rato sobre la punta del campanario de la iglesia. Por todas partes adonde iba piaban los gorriones, diciéndose unos a otros:
—¡Qué extranjera más distinguida!
Y esto la llenaba de gozo.

Ketika bulan muncul ia kembali terbang pada Pangeran yang bahagia. “Pernahkah kamu mengutus seseorang untuk pergi ke Mesir?” tanyanya riang; “aku baru saja akan berangkat.”

Al salir la luna volvió a todo vuelo hacia el Príncipe Feliz.
—¿Tenéis algún encargo para Egipto? —le gritó—. Voy a emprender la marcha.

“Burung layang-layang, burung layang-layang kecil,” katakan Pangeran, “bersediakah kamu tinggal denganku satu malam lagi?”

—Golondrina, Golondrina, Golondrinita —dijo el Príncipe—, ¿no te quedarás otra noche conmigo?

“Teman-temanku menanti di Mesir,” jawab burung layang-layang.
“Esok mereka akan terbang ke Air terjun Kedua. Dimana kuda-kuda tepian sungai beristirahat dan diantara rumput gajah, dan diatas tahta granit besar duduklah Dewa Memnon. Sepanjang malam ia akan mengamati bintang-bintang, dan ketika bintang timur bersinar ia akan berteriak gembira, dan kemudian ia akan kembali sunyi. Di siang hari singa-singa berbulu keemasan turun ke tepian sungai untuk minum. Mereka mempunyai mata seperti batu mineral hijau muda, dan raungan mereka membahana mengalahkan gemuruh air terjun”

—Me esperan en Egipto —respondió la Golondrina—. Mañana mis amigas volarán hacia la segunda catarata. Allí el hipopótamo se acuesta entre los juncos y el dios Memnón se alza sobre un gran trono de granito. Acecha a las estrellas durante la noche y cuando brilla Venus, lanza un grito de alegría y luego calla. A mediodía, los rojizos leones bajan a beber a la orilla del río. Sus ojos son verdes aguamarinas y sus rugidos más atronadores que los rugidos de la catarata.

“Burung layang-layang, burung layang-layang kecil,” sahut Pangeran, “jauh di seberang kota aku melihat seorang anak muda di sebuah kamar loteng. Ia sedang menangkup diatas meja tulis yang dipenuhi ketas, dan disebelahnya berserakan seikat bunga violet yang layu. Rambutnya berwarna coklat keriting, dan bibirnya semerah buah delima, dan memiliki mata besar penuh mimpi. Ia sedang berusaha untuk menyelesaikan naskah drama untuk Direktur Teater, namun ia tidak mampu menulis lagi karena kedinginan. Tidak ada api yang menghangatkannya dari pendiangan dan rasa lapar telah membuat dia pingsan.”

—Golondrina, Golondrina, Golondrinita —dijo el Príncipe—, allá abajo, al otro lado de la ciudad, veo a un joven en una buhardilla. Está inclinado sobre una mesa cubierta de papeles y en un vaso a su lado hay un ramo de violetas marchitas. Su pelo es negro y rizoso y sus labios rojos como granos de granada. Tiene unos grandes ojos soñadores. Se esfuerza en terminar una obra para el director del teatro, pero siente demasiado frío para escribir más. No hay fuego ninguno en el aposento y el hambre le ha rendido.

“Aku akan menemanimu satu malam lagi,” kata burung layang-layang, yang sebenarnya memiliki hati yang baik. “Haruskah aku mengambil sebuah batu rubi merah delima lain?”
“Aduh! Aku tidak memiliki batu rubi merah delima lainnya,” katakan Pangeran; “Satu-satunya yang aku miliki adalah mataku. Mereka dibuat dari batu safir langka, dibawa jauh dari India beribu tahun yang lalu. Cabutlah satu dan bawa kepadanya. Ia akan menjual ke toko permata, dan menggunakan uangnya untuk membeli makanan dan kayu bakar, dan menyelesaikan naskah dramanya.”

—Me quedaré otra noche con vos —dijo la Golondrina, que tenía realmente buen corazón—. ¿Debo llevarle otro rubí?
—¡Ay! No tengo más rubíes —dijo el Príncipe—. Mis ojos es lo único que me queda. Son unos zafiros extraordinarios traídos de la India hace un millar de años. Arranca uno de ellos y llévaselo. Lo venderá a un joyero, se comprará alimento y combustible y concluirá su obra.

“Pangeranku sayang,” katakan burung layang-layang kecil, “Aku tidak bisa melakukannya”; dan iapun mulai menangis.

—Amado Príncipe —dijo la Golondrina—, no puedo hacer eso. Y se puso a llorar.

“Burung layang-layang, burung layang-layang kecil,” yang dikatakan Pangeran, “lakukanlah sesuai perintahkanku.”

—¡Golondrina, Golondrina, Golondrinita! —dijo el Príncipe—. Haz lo que te pido.

Si burung kecil pun mencabut mata Sang Pangeran, dan terbang ke kamar loteng pelajar tersebut. Ia masuk ke dalam kamar dengan mudah melalui sebuah lubang di atap. Ia pun bergerak cepat, dan masuk ke ruang yang dituju. Sang nak muda menangkupkan kepalanya kedalam tangan-tangan nya, sehingga ia tidak mendengar kibasan sayap-sayap burung, dan ketika ia menengadah ia menemukan batu safir yang indah terletak diantara bunga-bunga violet yang layu.

Entonces la Golondrina arrancó el ojo del Príncipe y voló hacia la buhardilla del estudiante. Era fácil penetrar en ella porque había un agujero en el techo. La Golondrina entró por él como una flecha y se encontró en la habitación. El joven tenía la cabeza hundida en sus manos. No oyó el aleteo del pájaro y cuando levantó la cabeza, vio el hermoso zafiro colocado sobre las violetas marchitas.

“Aku mulai dihargai,” teriaknya; “pasti batu ini berasal dari beberapa pengagum beratku. Sekarang aku dapat menyelesaikan naskah dramaku,” dan ia terlihat sungguh bahagia.
Hari berikutnya sang burung layang-layang terbang ke arah bandar laut. Ia duduk diatas tiang kapal dari kapal yang besar dan mengamati pelaut-pelaut yang sedang menarik peti yang besar ke luar dari galangan dengan tali temali.
“Tarik! Hoi!” teriak mereka setiap kali satu peti muncul kepermukaan.
“Aku akan Mesir”! teriak Burung layang-layang, namun tidak ada orang yang memperhatikannya, dan ketika bulan muncul ia terbang kembali pada Pangeran yang bahagia.

—Empiezo a ser estimado —exclamó—. Esto proviene de algún rico admirador. Ahora ya puedo terminar la obra.
Y parecía completamente feliz.
Al día siguiente la Golondrina voló hacia el puerto. Descansó sobre el mástil de un gran navío y contempló a los marineros que sacaban enormes cajas de la cala tirando de unos cabos.
—¡Ah, iza! —gritaban a cada caja que llegaba al puente.
—¡Me voy a Egipto! —les gritó la Golondrina.
Pero nadie le hizo caso, y al salir la luna, volvió hacia el Príncipe Feliz.

“Aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal,” sahutnya.

—He venido para deciros adiós —le dijo.

“Burung layang-layang, burung layang-layang kecil,” kata Pangeran, “maukan kau menemaniku satu malam lagi?”

—¡Golondrina, Golondrina, Golondrinita! —exclamó el Príncipe—. ¿No te quedarás conmigo una noche más?

“Tapi sekarang musim dingin,” jawab burung layang-layang kecil, “dan salju yang dingin akan segera turun. Di Mesir matahari bersinar dengan hangat diatas pohon-pohon palem yang hijau, para buaya berbaring di atas lumpur dengan malasnya. Teman-temanku kini sedang membangun sarang mereka di Kuil Baalbek, disaksikan merpati putih dan merah muda yang berdengkur bersahut-sahutan. Pangeranku sayang, aku harus meninggalkanmu, namun aku tidak akan pernah melupakanmu, dan pada musim semi berikutnya aku akan membawakanmu kembali dua batu permata yang indah sebagai pengganti yang sudah engkau berikan. Batu rubinya akan lebih merah dari bunga mawar yang merah, dan batu safirnya akan sebiru laut tua.”

—Es invierno —replicó la Golondrina— y pronto estará aquí la nieve glacial. En Egipto calienta el sol sobre las palmeras verdes. Los cocodrilos, acostados en el barro, miran perezosamente a los árboles, a orillas del río. Mis compañeras construyen nidos en el templo de Baalbeck. Las palomas rosadas y blancas las siguen con los ojos y se arrullan. Amado Príncipe, tengo que dejaros, pero no os olvidaré nunca y la primavera próxima os traeré de allá dos bellas piedras preciosas con que sustituir las que disteis. El rubí será más rojo que una rosa roja y el zafiro será tan azul como el océano.

“Di lapangan yang terletak di bawah,” kata Pangeran yang bahagia, “Berdiri gadis kecil penjual korek api. Dia tanpa sengaja telah menjatuhkan korek apinya, dan kini korek apinya berserakan diatas selokan dan semuanya rusak. Bapakya akan memukulnya bila mengetahui hal ini dan bila si gadis kecil pulang dengan tidak membawa uang. Ia menangis sekarang. Dia tidak mempunyai sepatu atau kaus kaki, dan kepala yang kecil tidak memakai topi untuk melindunginya dari dingin. Burung kecil cabutlah mataku yang satu lagi, dan berikan kepadanya, dan bapaknya tidak akan memukulnya.”

—Allá abajo, en la plazoleta —contestó el Príncipe Feliz—, tiene su puesto una niña vendedora de cerillas. Se le han caído las cerillas al arroyo, estropeándose todas. Su padre le pegará si no lleva algún dinero a casa, y está llorando. No tiene ni medias ni zapatos y lleva la cabecita al descubierto. Arráncame el otro ojo, dáselo y su padre no le pegará.

“Aku akan menemanimu satu malam lagi,” sahut burung kecil, “namun aku tidak bisa mencabut matamu karena kau akan menjadi buta.”
“Burung layang-layang, burung layang-layang kecil, lakukan sesuai permintaanku,” kata Pangeran.

—Pasaré otra noche con vos —dijo la Golondrina—, pero no puedo arrancaros el ojo porque entonces os quedaríais ciego del todo.
—¡Golondrina, Golondrina, Golondrinita! —dijo el Príncipe—. Haz lo que te mando.

Maka sang burung kecilpun mencabut mata pangeran yang satu lagi, dan bergerak cepat meluncur kebawah dengannya.
Ia menukik dan terbang melewati gadis penjual korek api dan menyelipkan batu permata itu kedalam telapak tangannya. “Wah, pecahan kaca yang cantik sekali,” seru sang gadis kecil girang; dan ia pun berlari pulang kerumah, tertawa.

Entonces la Golondrina volvió de nuevo hacia el Príncipe y emprendió el vuelo llevándoselo.
Se posó sobre el hombro de la vendedorcita de cerillas y deslizó la joya en la palma de su mano.
—¡Qué bonito pedazo de cristal! —exclamó la niña. Y corrió a su casa muy alegre.

Kemudian Burung layang-layang kembali datang pada Pangeran. “Kamu buta sekarang,” katanya, “aku akan menemanimu, selalu.”

Entonces la Golondrina volvió de nuevo hacia el Príncipe.
—Ahora estáis ciego. Por eso me quedaré con vos para siempre.

“Tidak burung kecil,” sahut sang Pangeran memelas, “kamu harus pergi jauh ke Mesir.”

—No, Golondrinita —dijo el pobre Príncipe—. Tienes que ir a Egipto.

“Aku akan menemanimu selalu,” kata Burung layang-layang kecil, dan iapun tidur di kaki sang Pangeran.

—Me quedaré con vos para siempre —dijo la Golondrina. Y se durmió entre los pies del Príncipe.

Pada hari-hari berikutnya ia hinggap di bahu sang Pangeran, dan menceritakan padanya kisah-kisah petualangannya di negeri-negeri asing. Ia bercerita tentang sejenis bangau merah, yang berdiri berbaris baris di pinggiran Sungai Nil, menangkap ikan-ikan emas dengan paruh-paruhnya; ia bercerita tentang patung Sphinx, yang berumur setua dunia itu sendiri, dan hidup di padang pasir, ia mengetahui segalanya; akan para pedagang, yang berjalan dengan perlahan-lahan di sisi unta mereka, dan menggengam batu tasbih dalam tangan-tangannya; akan Raja dari Gunung-gunung dan Bulan, yang sehitam kayu eboni, dan memuja sebuah kristal besar; akan ular hijau besar yang tidur didalam pohon palem, dan memakan kue-kue madu yang disediakan oleh dua puluh imam; dan tentang orang kerdil yang berlayar di atas danau yang besar menggunakan daun-daun yang datar yang besar, dan selalu berperang dengan kupu-kupu.

Al día siguiente se colocó sobre el hombro del Príncipe y le refirió lo que había visto en países extraños. Le habló de los ibis rojos que se sitúan en largas filas a orillas del Nilo y pescan a picotazos peces de oro; de la esfinge, que es tan vieja como el mundo, vive en el desierto y lo sabe todo; de los mercaderes que caminan lentamente junto a sus camellos, pasando las cuentas de unos rosarios de ámbar en sus manos; del rey de las montañas de la Luna, que es negro como el ébano y que adora un gran bloque de cristal; de la gran serpiente verde que duerme en una palmera y a la cual están encargados de alimentar con pastelitos de miel veinte sacerdotes; y de los pigmeos que navegan por un gran lago sobre anchas hojas aplastadas y están siempre en guerra con las mariposas.

“Burung layang-layang kecilku sayang...” kata Pangeran, “kamu bercerita tentang banyak hal yang mengagumkan, tetapi yang paling mengagumkan dibandingkan apapun juga adalah penderitaan yang dialami setiap umat manusia. Tidak ada teka-teki yang lebih besar dari pada kesengsaraan.”
“Terbanglah diatas kotaku, burung layang-layang kecil, dan ceritakan apa yang kamu lihat di sana.”

—Querida Golondrinita —dijo el Príncipe—, me cuentas cosas maravillosas, pero más maravilloso aún es lo que soportan los hombres y las mujeres. No hay misterio más grande que la miseria. Vuela por mi ciudad, Golondrinita, y dime lo que veas.

Maka sang burung layang-layangpun terbang di atas kota besar tersebut dan melihat orang-orang kaya bersuka-ria dalam rumah-rumah mereka yang indah, sementara pengemis-pengemis duduk di depan gerbang.
Ia terbang diatas jalan setapak yang gelap, dan melihat wajah-wajah pucat anak-anak yang kelaparan sedang memandang ke arah jalan yang gelap dengan mata tanpa harapan.
Di kolong sebuah jembatan dua anak-anak lelaki sedang berpelukan dalam lengan satu sama lain untuk mencoba menghangatkan diri mereka. “Oh, betapa laparnya kami!” kata mereka. “Hush! Kamu tidak boleh berada di sini,” teriaki seorang penjaga, dan mereka berlari ke luar kolong jembatan menerobos hujan yang dingin.

Entonces la Golondrinita voló por la gran ciudad y vio a los ricos que se festejaban en sus magníficos palacios, mientras los mendigos estaban sentados a sus puertas.
Voló por los barrios sombríos y vio las pálidas caras de los niños que se morían de hambre, mirando con apatía las calles negras.
Bajo los arcos de un puente estaban acostados dos niñitos abrazados uno a otro para calentarse.
—¡Qué hambre tenemos! —decían.
—¡No se puede estar tumbado aquí! —les gritó un guardia.
Y se alejaron bajo la lluvia.

Kemudian ia terbang kembali dan menceritakan pada] Pangeran apa yang telah ia lihat.
“Seluruh tubuhku dilapisi oleh lempengan emas dengan kualitas terbaik, ” katakan Pangeran, “kamu dapat melepaskannya lembar demi lembar dan memberikannya pada yang lemah dan miskin; mereka selalu berpikir bahwa emas dapat membuat mereka bahagia.”

Entonces la Golondrina reanudó su vuelo y fue a contar al Príncipe lo que había visto.
—Estoy cubierto de oro fino —dijo el Príncipe—; despréndelo hoja por hoja y dáselo a mis pobres. Los hombres creen siempre que el oro puede hacerlos felices.

Lembar demi lembar emas pelapis tubuh sang pangeran dilepas oleh sang burung kecil, hingga patung Pangeran yang bahagia terlihat abu-abu kusam. Lembar demi lembar emas berharga itu ia berikan pada yang miskin, dan wajah anak-anak menjadi lebih merah, dan mereka pun mulai tertawa dan bermain di jalanan. “Kita mempunyai roti untuk dimakan sekarang!” seru mereka senang.

Hoja por hoja arrancó la Golondrina el oro fino hasta que el Príncipe Feliz se quedó sin brillo ni belleza. Hoja por hoja lo distribuyó entre los pobres, y las caritas de los niños se tornaron nuevamente sonrosadas y rieron y jugaron por la calle.
—¡Ya tenemos pan! —gritaban.

Kemudian saljupun datang, dan setelah salju datanglah kebekuan. Jalan-jalan seolah terbuat dari perak, lintasannya begitu terang dan berkilau; tetesan air beku seperti golok kristal tergantung dari atap-atap rumah, semua orang berpergian dengan menggunakan jaket bulu yang tebal, dan anak-anak lelaki kecil mengenakan poco berwarna merah tua dan meluncur diatas es.

Entonces llegó la nieve y después de la nieve el hielo. Las calles parecían empedradas de plata por lo que brillaban y relucían.
Largos carámbanos, semejantes a puñales de cristal, pendían de los tejados de las casas. Todo el mundo se cubría de pieles y los niños llevaban gorritos rojos y patinaban sobre el hielo.

Kasihan si burung layang-layang kecil, ia menjadi bertambah dingin dan lebih dingin lagi, tetapi ia tidak mau meninggalkan Pangeran, ia terlalu mencintainya. Ia memungut remah-remah roti dari luar itu pintu toko ketika tukang roti sedang lengah dan ia mencoba untuk menghangatkan badannya dengan mengepak-ngepakkan sayapnya yang kecil.

La pobre Golondrina tenía frío, cada vez más frío, pero no quería abandonar al Príncipe: le amaba demasiado para hacerlo. Picoteaba las migas a la puerta del panadero cuando éste no la veía, e intentaba calentarse batiendo las alas.

Namun pada akhirnya ia mengetahui bahwa ia akan segera mati. Ketika kekuatannya hanya cukup untuk terbang hingga ke bahu pangeran untuk terakhirkalinya, maka ia terbang untuk mengucapkan perpisahannya. “Selamat tinggal, Pangeranku sayang!” bisiknya, “bolehkah aku mencium tanganmu?”

Pero, al fin, sintió que iba a morir. No tuvo fuerzas más que para volar una vez más sobre el hombro del Príncipe.
—¡Adiós, amado Príncipe! —murmuró—. Permitid que os bese la mano.

“Akhirnya kamu akan pergi ke Mesir jua Burung layang-layang kecilku, aku gembira atas keputusanmu,” katakan Pangeran, “kamu sudah tinggal terlalu lama di sini; janganlah kau cium tanganku, ciumlah bibirku, karena aku juga menyayangimu.”

—Me da mucha alegría que partas por fin para Egipto, Golondrina —dijo el Príncipe—. Has permanecido aquí demasiado tiempo. Pero tienes que besarme en los labios porque te amo.

“Bukan Mesir yang aku tuju,” katakan sang burung layang-layang. “Aku akan pergi ke Rumah Kematian. Kematian adalah saudara dari Tidur, iya kan?”

—No es a Egipto adonde voy a ir —dijo la Golondrina—. Voy a ir a la morada de la Muerte. La Muerte es hermana del Sueño, ¿verdad?

Dan iapun mencium Pangeran yang bahagia di bibir, dan jatuh mati dibawah kakinya.

Y besando al Príncipe Feliz en los labios, cayó muerta a sus pies.

Seketika itu juga terdengar suara patah dari dalam patung, seolah-olah ada sesuatu yang terbelah. Ternyata hati Pangeran yang terbuat dari timah telah patah menjadi dua bagian. Malam itu pasti sangat dingin sekali sehingga timah pun dapat membeku dan patah.

En el mismo instante sonó un extraño crujido en el interior de la estatua, como si se hubiera roto algo. El hecho es que la coraza de plomo se había partido en dos. Realmente hacía un frío terrible.

Pada keesokan paginya Sang Walikota sedang berjalan-jalan di lapangan bersama-sama dengan Anggota Dewan Kota. Ketika mereka melewati kolom tinggi dimana Patung Pangeran Bahagia berdiri mereka menengadah keatas dan berkata, “Oh lihat itu!” seru Sang Walikota, “betapa lusuhnya rupa Pangeran Bahagia!” katanya.

A la mañana siguiente, muy temprano, el alcalde se paseaba por la plazoleta con dos concejales de la ciudad. Al pasar junto al pedestal, levantó sus ojos hacia la estatua.
—¡Dios mío! —exclamó—. ¡Qué andrajoso parece el Príncipe Feliz!

“Ya, ya, tentu saja! Ia terlihat lusuh” jawab Anggota Dewan yang selalu setuju dengan Walikota; ; dan mereka pun pergi keatas san memeriksa patung tersebut.

—¡Sí, está verdaderamente andrajoso! —dijeron los concejales de la ciudad, que eran siempre de la opinión del alcalde.
Y levantaron ellos mismos la cabeza para mirar la estatua.

“Batu rubi merah delima telah jatuh dari pangkal pedangnya, kedua matanya terlah hilang, dan ia sudah tidak terbalut emas lagi,” kata sang Walikota, “bahkan ia hanya terlihat sedikit lebih baik dari seorang pengemis!”

—El rubí de su espada se ha caído y ya no tiene ojos, ni es dorado —dijo el alcalde—. En resumidas cuentas, que está lo mismo que un pordiosero.

“Lebih baik dari pengemis,” katakan Dewan Kota.
“Dan lihat ini, bahkan ada seekor burung yang mati dikaki nya!” lanjut Sang Walikota. “Kita harus membuat peraturan bahwa burung tidak diijinkan untuk mati disini.”
Dan Juru Tulis kota pun mencatat usul tersebut.

—¡Lo mismo que un pordiosero! —repitieron a coro los concejales.
—Y tiene a sus pies un pájaro muerto —prosiguió el alcalde—. Realmente habrá que promulgar un bando prohibiendo a los pájaros que mueran aquí.
Y el secretario del Ayuntamiento tomó nota para aquella idea.

Sehingga merekapun menurunkan Patung Pangeran yang bahagia.
“Karena ia adalah tidak indah lagi, maka ia tidak lagi bermanfaat,” kata Profesor Seni dari sebuah Universitas.

Entonces fue derribada la estatua del Príncipe Feliz.
—¡Al no ser ya bello, de nada sirve! —dijo el profesor de estética de la Universidad.

Lalu mereka melelehkan patung Pangeran Bahagia di tungku perapian, dan Walikotapun mengadakan pertemuan dengan Perusahaan-perusahaan besar untuk menentukan apa yang hendak dilakukan atas logam bekas Patung Pangeran Bahagia.
“Kita harus mempunyai patung pengganti, tentu saja,” kata Sang Walikota, “dan patung tersebut adalah patung diriku.”

Entonces fundieron la estatua en un horno y el alcalde reunió al Concejo en sesión para decidir lo que debía hacerse con el metal.
—Podríamos —propuso— hacer otra estatua. La mía, por ejemplo.

“Diriku! Diriku!,” masing-masing anggota dewan berkata, dan merekapun bertengkar akan patung siapa yang akan menjadi pengganti patung Pangeran Bahagia. Terakhir terdengar mereka masih bertengkar.

—O la mía —dijo cada uno de los concejales. Y acabaron disputando.

“Ada yang aneh!” kata mandor pandai besi yang bekerja di tempat pengecoran logam. “Hati timah yang patah ini tidak mau meleleh di tungku perapian. Kita harus membuangnya.” Maka mereka melemparkannya di gundukan debu dimana jasad Burung layang-layang kecil terbaring.

—¡Qué cosa más rara! —dijo el oficial primero de la fundición—. Este corazón de plomo no quiere fundirse en el horno; habrá que tirarlo como desecho.
Los fundidores lo arrojaron al montón de basura en que yacía la golondrina muerta.

“Bawakan aku dua hal yang paling berharga di kota itu,” Titah Tuhan pada salah satu malaikatnya. dan Sang Malaikat pun kembali dengan membawa hati timah yang patah dan seekor burung layang-layang yang sudah mati.

—Tráeme las dos cosas más preciosas de la ciudad —dijo Dios a uno de sus ángeles.
Y el ángel se llevó el corazón de plomo y el pájaro muerto.

“Kamu telah memilih dengan tepat,” Sabda Tuhan, “di kebun surgaku sang burung kecil ini akan berkicau selamanya, dan di kota emasku Pangeran Bahagia akan memujiKu.”

—Has elegido bien —dijo Dios—. En mi jardín del Paraíso este pajarillo cantará eternamente, y en mi ciudad de oro el Príncipe Feliz repetirá mis alabanzas.

Рэклама